FILM Soegija tampil
sangat menawan dan boleh dibilang dahsyat, justru kalau melihat sisi
artistiknya sebuah film. Sutradara Garin Nugroho beradu kehebatan dengan
sang penata musik Djaduk Ferianto dan hasil kolaborasi mereka itu
menakjubkan. Paparan situasi apakah itu suasana pentahbisan Mgr.
Albertus Soegijapranata SJ menjadi Uskup Semarang, juga semangat
nasionalisme para pemuda pejuang menjadi lebih punya greget dengan garapan ilustrasi musik yang betul-betul ciamik.
Kelompok musik Kua Etnika dan Orkes
Keroncong Sinten Remen (Siapa Suka) kepunyaan Djaduk memang sejak lama
dikenal ciamik meramu musik dan lagu-lagu dengan semangat daur ulang.
Lagu-lagu klasik tempo doeloe mendapatkan rohnya kembali berkat aransemen musik garapan Djaduk.
Juga karya artistik Garin Nugroho
menggarap efek dramatis aneka peristiwa kemanusiaan. Maka, dahsyatnya
efek perang tidak lagi muncul dalam paparan ceceran darah lazimnya film
eksyen Hollywood atau juga kemasan dalam negeri Indonesia. Duet
kolaborasi Djaduk dan Garin malah mengolahnya dalam tampilan baru berupa
aneka konflik batin manusia.
Antara to be or not to be. Juga
konflik batin mencari jalan tengah antara keharusan setia pada tugas
negara dan bisikan halus dari martabat kemanusiaan kita yang paling
luhur yang bernama hati nurani.
Maka, perwira Jepang (Nobuyuki Suzuki)
yang bengis pun tiba-tiba bisa merasa iba, ketika rumah Lingling
diporak-porandakan tentara Jepang. Ia tegas membiarkan pedang samurai
memutus cepat leher seorang opsir Belanda yang menolak memberi hormat
pada Hinomaru —bendera Jepang–, tapi juga orang yang sama juga bisa
hanyut dalam sebuah impian indah tentang kehidupan pasca perang ketika
ingatan akan putrinya di Jepang tiba-tiba merenggut hatinya. Syahdu,
membetot emosi, dan indah dalam penggarapan.
Kelucuan dan Keluguan

Kelucuan yang muncul di film
Soegija
pun digarap dengan perspektif berbeda. Bukan mengobral omongan jorok
atau tebak-tebakan lazimnya kebiasaaan para pelawak kita saat pentas di
panggung hiburan atau TV. Melainkan, kelucuan itu justru muncul dari
sebuah kenaifan dan kesederhanaan. Betapa emosi kita bisa tersedot
dalam keharuan sekaligus ingin tertawa lepas menyaksikan seorang pemuda
nasionalis militan bernama Banteng yang dengan bangganya telah bisa
mengeja kata “merdeka”, namun selalu luput menusuk banyonetnya ke karung
sasaran sesuai arahan “perintah” bocah kecil nan lucu tapi cerdas.
Hati penonton pun tersedot keharuan
mendengar coletehan seorang perempuan tua renta yang mengeluhkan sakit
di kakinya dengan deskripsi sakit yang menurut kriteria juru rawat jelas
“nggak nyambung” dengan kondisi fisik tubuhnya. Begitu juga, ketika
anak-anak kampung yang diajari bakul jamu mendring untuk sedikit
“menghujat” melalui nyanyian anak-anak desa tempo doeloe dengan satu sasaran tembak: wartawan Walondo yang lagi datang menginap di Hotel Asia.

Kelucuan berbalut kenaifan ini memang sangat khas asli Yogyakarta. Untuk urusan yang beginian,
Soegija mesti
berhutang budi pada besutan duet Djaduk dan kakaknya kandung Butet.
Bersama grup musik mereka Kua Etnika dan Orkes Keroncong Sinten Remen,
sejoli seniman Yogya ini memang dikenal piawai mampu mengolah aneka
unsur
local content dalam perspektif kebutuhan pasar: penikmat seni.
Sudut pemotretan tidak biasa
Heroisme para pemuda pejuang nasionalis
di bawah komando Lantip (Rukman Rosadi) juga tampil menawan. Apalagi
ketika di tengah dentuman pemboman pesawat Belanda membombardir
Yogyakarta pada Clash II, rombongan pemusik itu tetap berani sesumbar
kurang lebih berbunyi: “Musik kami tak boleh lekang oleh dentuman
meriam”.
Tata pengambilan gambar juga tidak biasa. Sutradara, photography director, dan artistic director sangat
jeli memotret situasi. Meski hanya berbekal bambu runcing, namun
barisan para pemuda pejuang tampil sangat gagah, ketika berjalan
menyusuri jalanan menanjak di sebuah perbukitan basir berbalut latar
belakang suasana langit menjelang senja kuning merona.
Juga suasana keharuan yang sangat
mencekam, ketika Mgr. Albertus Soegijapranata melambungkan doa singkat
sebelum akhirnya berangkat ke Yogyakarta memindahkan pusat pemerintahan
Vikariat Apostolik Semarang ke Yogyakarta. Pun pula ketika jari manisnya
diisi cincin kegembalaan usai tahbisan Uskup dari tangan Mgr. PJ
Willekens SJ (Cor van der Kruk).
Terpaksa makfum
Setelah melihat Soegija dan
mencoba membaca film ini dari perpektif André Bazin di atas, saya mau
tak mau harus makfum ketika sutradara Garin Nugroho merebut porsi besar
dari sosok Mgr. Albertus Soegijapranata SJ untuk hal-hal remeh-temeh.
Akibatnya, porsi sosok agung Mgr. Albertus Soegijapranata hanya kecil
saja dibanding beberapa ilustrasi kehidupan lainnya yang memang
ditampilkan tidak kalah menarik.
Bagi saya, Soegija memang layak
ditonton justru karena merupakan film sarat nilai dan bisda menjadi
jendela kita untuk melihat “peta politik” Indonesia ketika masih usia
balita.
Apalagi kalau Soegija mau diletakkan pada konteks sosial politik zaman sekarang. Soegija bisa menjadi pelecut semangat sekaligus kunci menemukan etos kepemimpinan nasional sejati. Soegija
menjadi garang dan bertenaga, terutama ketika para pemimpin sekarang
ini terkesan lebih suka ngurusin perutnya sendiri dan brankas partainya
daripada berani bertanggungjawab menyelenggarakan kehidupan umum yang
lebih baik dan bermartabat.
Soegija tegas mengacu model
kepemimpinan nasional bermartabat itu pada mendiang Raja Keraton
Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang telah berkenan memberi
perlindungan keamanan jiwa-raga dan jaminan hidup bagi Dwitunggal RI
Soekarno-Hatta bersama keluarganya saat mereka tinggal di Gedung Agung
Yogyakarta. Kita juga bisa bercermin tentang sosok ideal kepemimpinan
nasional yang telah dicontohkan Mgr. A. Soegijapranata SJ, ketika beiau
berani memutuskan memindahkan pusat pemerintahan Vikariat Apostolik
dari Semarang ke Yogyakarta.
Melalui Soegija, kembali bergaung nyaring sesanti abadi élan vital Mgr. Albertus Soegijapranata: “100 % Katolik, 100 % Indonesia”. Dan tepuk tangan meriah pun meledak di bioskop, setelah Soegija selama hampir 120 menit telah membius penontonnya dengan tontonan segar berkualitas. (Selesai)
sumber : http://www.sesawi.net/